Rabu, 20 Juli 2016

SAYA, RUDY, DAN ILONA

0

: REVIEW FILM RUDI HABIBIE (HABIBIE & AINUN 2)

Catatan:
  1. Tulisan ini mengandung spoiler. Bagi anda yang kurang suka, harap segera menutup laman ini.
  2. Tulisan ini, mungkin, cenderung membandingkan antara Film Rudi Habibie dengan Film Habibie & Ainun.
  3. Tulisan ini sekadar review. Saya tidak menganggapnya sebagai tulisan kritik film karena saya bukan bidangnya dan hanya bermodalkan film sekali simak di bioskop.

Sebenarnya, kurang tepat jika film Rudi Habibie ini dikatakan sequel atau prequel karena ada sense yang berbeda jika dibanding Habibie & Ainun. Selain Reza Rahardian, saya pikir semua pemainnya baru. Cara bercerita pun berbeda.
Secara umum, Film Habibie & Ainun mengambil fokus cerita kisah kehidupan BJ Habibie dengan Ainun dari mulai masa remaja hingga cinta mereka disekat maut. Sementara, Film Rudi Habibie bercerita tentang perjuangan BJ Habibie ketika menempuh pendidikan di Jerman. Film Rudi Habibie juga disisipi kisah lugu Rudi kecil dan keluarganya.
Aduh, saya mesti jujur, konflik yang disuguhkan dalam Habibie & Ainun kurang kuat. Hanya beberapa bongkah batu yang berhasil dilempar ke ulu hati saya. (Oke-oke. Ini tulisan tentang Film Rudi Habibie. Jadi, saya harus memperbanyak porsinya).

Rudi Habibie memiliki kompleksitas alur cerita: keluarga, cinta, integritas bangsa. Konflik yang disuguhkan sangat rumit. Kita melihat banyak tragedi dan drama semenjak film diputar.

Rudi Kecil dan Pesawat Tempur
Kehidupan Rudi kecil memang hanya sisipan di awal dan di beberapa bagian film karena memang fokus utamanya adalah kisah Rudi ketika kuliah di Jerman. Namun, saya beberapa kali dibuat merinding karena dalam scene yang singkat tersebut kita mendapati banyak kisah liris yang dialami Rudi kecil.
Rudi Kecil berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari serangan bom dari pesawat penjajah. Hal ini sempat membuatnya membenci pesawat, terlebih pesawat tempur. Baginya, pesawat diciptakan untuk menghancurkan. Namun, ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habibie, menegaskan bahwa Rudi harus membuat pesawat yang baik yang dapat memutus jarak orang yang tinggal di tempat yang jauh. Dari sini, ia mulai kembali mencintai kendaraan terbang yang dikaguminya semenjak kanak.
“Jadilah mata air yang jernih yang dapat menjernihkan sekitarnya.”
Itulah petuah yang disampaikan ayahnya yang menjadi motivasi bagi Rudi untuk tetap menjadi positif.
Scene yang paling membuat pilu adalah ketika ayahnya meninggal pada sujud terakhir saat mengimami keluarganya Salat Isha. Rudi kecil dengan tegarnya menggantikan posisi imam hingga salam. Ini bagian terliris di film ini. Indikasinya, dua wanita yang menemani saya menonton terisak menahan hujan di matanya.

Ilona, oh… Ilona
Saya harus standing applaouse kepada Chelsea Iskan yang berhasil memerankan Ilona dengan sangat baik. Jika banyak orang yang merasa bahwa BCL tidak berhasil menyeimbangi totalitas akting Reza Rahardian, maka, saya rasa, Chelsea berhasil. Meski saya tidak begitu tahu, apakah cara Chelsea berbicara sama dengan cara bebicara orang Polandia saat melafalkan bahasa Indonesia, karena memang saya tidak pernah mendengarnya langsung.
Kisah cinta beda agama dan negara antara Rudi dan Ilona memang menyita porsi yang cukup besar dalam film ini. Meski begitu, tidak banyak orang yang tahu kisah tentang Ilona karena BJ Habibie baru menceritakannya setelah Ainun meninggal.
Sosok Ilona memang tidak begitu familiar karena masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap bahwa kisah cinta BJ Habibie dan ainun direpresentasikan sebagai kisah cinta sejati, seperti yang dilantuntan BCL pada reff soundtrack-nya. Namun, di film ini kita mendapati fakta baru, bahwa sebelum dengan Ainun, Rudi (BJ Habibie) memiliki kisah cinta yang takkalah seru.
Harus diakui, saya jatuh cinta dengan perempuan seperti Ilona (disamping kekaguman saya terhadap Chelsea Iskan).
“Saya mencintai Rudi tapi saya tidak tahu apakah Rudi benar-benar mencintai saya. Saya rela pindah negara dan agama tapi apakah Rudi pantas menerima pengorbanan saya?”(Kutipan percakapan Ilona dengan Ibu Rudi)
Rudi dan Integritas Bangsa
Rudi mengagumi sosok Bung Karno. Namun ia lebih mencintai Indonesia dari siapapun. Inilah konflik sengit yang tidak selesai di film ini. Rudi bergabung di PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Aachen dan terpilih menjadi ketuanya. Dari sini banyak gesekan terjadi.
Rudi tidak disukai beberapa mahasiswa Aachen yang mayoritas dari kalangan Laskar Pelajar. Laskar pelajar adalah mahasiswa yang mendapat beasiswa penuh dari pemerintah karena dianggap telah membantu memerdekakan Indonesia. Namun, mereka cenderung menganggap beasiswanya sebagai ajang safari.
Rudi menganggap bahwa mereka mendapat beasiswa bukan karena kecerdasan akademis, melainkan balas budi pemerintah karena perjuangannya. Pernyataan ini keluar karena mahasiswa Laskar Pelajar memperolok Rudi yang membawa paspor pribadi. FYI, 99% mahasiswa di Aachen mendapat beasiswa penuh dari pemerintah (ikatan dinas). Sementara Rudi hanya mendapat beasiswa akademis. Untuk keperluan pribadinya, ia hanya bergantung pada kiriman dari orang tuanya di Bandung.
Para Laskar Pelajar ini tak segan memukuli Rudi karena ketidaksukaannya. Sikap beringas ini lantaran laskar pelajar menganggap Rudi sombong dan tidak tahu perjuangan mereka selama menjadi tentara.
Ketika Rudi menggagas proyek Simposium Pembangunan pada Kongres PPI Eropa, sebagian peserta kongres menolak. Namun, karena menang suara, proyek ini dilanjutkan.
Pascakongres, seorang yang mengaku utusan pemerintah membawa surat perintah agar simposium pembangunan dibatalkan dan diganti dengan program Front Nasional, sebuah pernyataan sikap pelajar Indonesia di Eropa untuk dukungan terhadap Bung Karno. Gerakan ini dapat menjadi dukungan internasional dalam menanggapi agresi militer Belanda ke Indonesia.
Rudi menolaknya. Ia beranggapan bahwa Simposium Pembangunan adalah pergerakan jangka panjang dan Front Nasional hanyalah gerakan mendukung Soekarno. Pemerintah pun menarik diri dan mengancap tidak akan mendanai Simposium Nasional.
Rudi dan PPI Aanchen, dengan keyakinannya, mengumpulkan dana dari swasta sehingga Simposium Pembangunan  dapat terlaksana.
Menjelang Simposium Pembangunan, datang surat dari Kedubes RI untuk Jerman yang meminta PPI mencantumkan logo pemerintah dalam setiap kegiatan. Dari sini Rudi mencium indikasi KKN dari Kedubes. Pilihan sulit. Namun, ia tetap menolak.
Kedubes menganggap pergerakan Rudi tidak berpihak kepada Indonesia. Namun, Rudi menjawabnya dengan tegas, “Ini adalah bentuk integritas saya terhadap Indonesia.”
Ancaman semakin kentara. Laskar Pelajar masuk dan mengacaukan rapat PPI Aanchen dan membawa surat ancaman dari kedubes yang akan menarik semua paspor mahasiswa ikatan dinas.
Di tengah usahanya, Rudi tumbang dan harus dirawat di rumah sakit karena mengidap TBC Tulang (entah apa namanya saya lupa). Akhirnya program Simposium Pembangunan diteruskan tanpa Rudi dan Laskar Pelajar ikut ambil bagian di dalamnya.
Di akhir cerita, penonton tidak mendapat titik cerah cerita Rudi dan Simposium Pembangunan. Film hanya diakhiri dengan perpisahan Ilona dan Rudi. Jadi, Bolehlah saya beranggapan bahwa konfliknya akan berlanjut di film sekuelnya: Habibie & Ainun 3.
Ya, filnya berlanjut ke film ketiga. Kita nantikan.

Salam.

FT

0 komentar: