Selasa, 30 Juli 2013

SUNYI YANG TERAMAT SUNYI: PEMBACAAN PUISI MAZMUR MUSIM SUNYI

1

SUNYI YANG TERAMAT SUNYI: PEMBACAAN PUISI MAZMUR MUSIM SUNYI[i]
oleh Fajar Timur[ii]
Penyair adalah manusia paling peka, lebih peka dari psikiater, guru BK, dan Dosen MK Psikologi Pendidikan. Ia akan memahami bagaimana sakitnya tetes air hujan dibanting dari awan dan jatuh turguling di genting untuk akhirnya lebur dengan perukaan tanah. Ia juga tahu bahwa daun kuning yang tanggal dari pohonnya tidaklah mati, melainkan menyusuri kesunyian di tempat lain.

Penyair tak pandai berbohong seperti prosais. Ia akan menulis kata asmara setelah merasai cinta, menulis kata perih setelah merasai luka, dan menulis kata sunyi setelah merasai sepi. Saya yakin, pemberian judul Mazmur Musim Sunyi bukan sekadar pemanis sampul, melainkan Sulaiman Djaya (selanjutnya disebut Penulis) mengalami tahuntahun yang sunyi ketika menulis puisipuisinya.
Untuk yang kesekian kalinya, kuciumi harum daun gerimis subuh
seperti burung-burung bulan Oktober yang datang lagi:
(Silence Memoir: 28)
Frasa Untuk yang kesekian kalinya menandakan suatu pengulangan peristiwa yang dialami penulis. Sementara metafor daun gerimis subuh memberi pembaca sebuah citra visual suasana fajar yang hening.
Bacalah puisiku seakan kepak hujan
pada malam-malammu,
seakan camar-camar kemarau
melintas dan bergegas
….
hidup pun kembali  ke arah matahari
(Rima Bulan Juni: 30)
Kembali, penulis membawa pembaca menuju kesunyian lewat citracitra yang dibangun oleh metafor kepak hujan atau metafor camar-camar kemarau/melintas dan bergegas. Namun, kali ini penulis mengajak pembaca merenung lewat hidup pun kembali ke arah matahari. Ada dua kemungkinan yang dapat diambil dari larik tersebut: arah matahari sebagai simbol dari akhir perjalanan, dan/atau arah matahari sebagai sirkulasi kehidupan yang sunyi.
            Selain imaji sunyi yang dominan pada puisipuisi dalam buku ini, hal lain yang saya sukai adalah penulis menyisipkan beberapa sajak untuk ibunya seperti Ibuku dalam Kwatrin, Buku Ibuku, Memoir untuk Ibuku, dan Musim untuk Ibuku. Ia juga menyembahkan buku kumpulan puisi ini untuk Ibunya tercinta. Hal ini menarik. Ketika para penyair dan prosais berlombalomba menyembahkan karya untuk perempuannya (seperti Larangku-nya Nidu), penulis ternyata tidak terpengaruh hal tersebut. Ketahuilah wahai para wanita, hidup kalian akan bahagia bila bersama lakilaki yang menyayangi ibunya.
            Saya sempat berpikir, apakah untuk menjadi penyair harus mengalami penderitaan yang sedemikian. Sempat terpikir untuk menjadi cerpenis saja. Tapi, saya harus yakin bahwa tidak akan ada putih tanpa hitam, tidak akan ada perasaan bahagia jika belum merasakan derita. Keyakinan saya membukit saat membaca puisipuisi dalam buku ini. penulis mengeja kesunyian dengan senyuman. Ia menikmati kesunyiannya seperti menenggak satu sachet Tolak Angin Cair. Pahit, tapi nikmat di tubuh.
Salam.
Mari mengejar cakrawala.


[i] Disampaikan pada bedah buku Mazmur Musim Sunyi karya Sulaiman Djaya di Aula PKM A Untirta, Rabu, 15 Mei 2013
[ii] Mahasiswa Semester VI Diksatrasia FKIP Untirta, Ketua Belistra 2013. Jamaah Kubah Budaya dan Rumah Dunia. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi, dan tugas kuliah.

1 komentar:

Poetry Ann mengatakan...

Seperih apa pun kehidupan, penyair selalu bisa membungkusnya menjadi keindahan lewat puisinya. Hhee...


Ini kunjungan balik saya. :)