SUNYI YANG TERAMAT
SUNYI: PEMBACAAN PUISI MAZMUR MUSIM SUNYI[i]
Penyair adalah manusia paling peka, lebih
peka dari psikiater, guru BK, dan Dosen MK Psikologi Pendidikan. Ia akan memahami
bagaimana sakitnya tetes air hujan dibanting dari awan dan jatuh turguling di
genting untuk akhirnya lebur dengan perukaan tanah. Ia juga tahu bahwa daun kuning
yang tanggal dari pohonnya tidaklah mati, melainkan menyusuri kesunyian di
tempat lain.
Penyair tak pandai berbohong seperti
prosais. Ia akan menulis kata asmara
setelah merasai cinta, menulis kata perih
setelah merasai luka, dan menulis kata sunyi
setelah merasai sepi. Saya yakin, pemberian judul Mazmur Musim Sunyi bukan sekadar pemanis sampul, melainkan Sulaiman
Djaya (selanjutnya disebut Penulis) mengalami tahuntahun yang sunyi ketika
menulis puisipuisinya.
Untuk yang kesekian kalinya, kuciumi
harum daun gerimis subuh
seperti burung-burung bulan Oktober
yang datang lagi:
(Silence Memoir: 28)
Frasa Untuk yang kesekian kalinya menandakan suatu pengulangan peristiwa
yang dialami penulis. Sementara metafor daun
gerimis subuh memberi pembaca sebuah citra visual suasana fajar yang
hening.
Bacalah puisiku seakan kepak hujan
pada malam-malammu,
seakan camar-camar kemarau
melintas dan bergegas
….
hidup
pun kembali ke arah matahari
(Rima Bulan Juni: 30)
Kembali, penulis
membawa pembaca menuju kesunyian lewat citracitra yang dibangun oleh metafor kepak hujan atau metafor camar-camar kemarau/melintas dan bergegas. Namun,
kali ini penulis mengajak pembaca merenung lewat hidup pun kembali ke arah matahari. Ada dua kemungkinan yang dapat
diambil dari larik tersebut: arah matahari sebagai simbol dari akhir
perjalanan, dan/atau arah matahari sebagai sirkulasi kehidupan yang sunyi.
Selain
imaji sunyi yang dominan pada puisipuisi dalam buku ini, hal lain yang saya
sukai adalah penulis menyisipkan beberapa sajak untuk ibunya seperti Ibuku dalam Kwatrin, Buku Ibuku, Memoir
untuk Ibuku, dan Musim untuk Ibuku.
Ia juga menyembahkan buku kumpulan puisi ini untuk Ibunya tercinta. Hal ini
menarik. Ketika para penyair dan prosais berlombalomba menyembahkan karya untuk
perempuannya (seperti Larangku-nya
Nidu), penulis ternyata tidak terpengaruh hal tersebut. Ketahuilah wahai para
wanita, hidup kalian akan bahagia bila bersama lakilaki yang menyayangi ibunya.
Saya
sempat berpikir, apakah untuk menjadi penyair harus mengalami penderitaan yang
sedemikian. Sempat terpikir untuk menjadi cerpenis saja. Tapi, saya harus yakin
bahwa tidak akan ada putih tanpa hitam, tidak akan ada perasaan bahagia jika
belum merasakan derita. Keyakinan saya membukit saat membaca puisipuisi dalam
buku ini. penulis mengeja kesunyian dengan senyuman. Ia menikmati kesunyiannya
seperti menenggak satu sachet Tolak Angin
Cair. Pahit, tapi nikmat di tubuh.
Salam.
Mari mengejar cakrawala.
[i]
Disampaikan pada bedah buku Mazmur Musim Sunyi karya Sulaiman Djaya di Aula PKM
A Untirta, Rabu, 15 Mei 2013
[ii]
Mahasiswa Semester VI Diksatrasia FKIP Untirta, Ketua Belistra 2013. Jamaah
Kubah Budaya dan Rumah Dunia. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi, dan tugas
kuliah.